TUGAS 4 : OPINI TENTANG JOB SEEKER DAN JOB CREATOR



Sarjana: Job Seeker or Job Creator?
Banyak sekali pilihan dalam hidup ini yang membuat kita terbentur pada pilihan yang rumit. Hal ini berlaku untuk apapun. Betapa bahagianya yang telah menyelesaikan studynya di sebuah perguruan tinggi. Sebuah penantian yang ditunggu akhirnya berbuah manis, namun apakah lulus adalah akhir dari sebuah perjuangan? Tentu tidak.

Kita boleh bahagia dan merayakan keberhasilan tersebut, namun jangan terlena dengan itu. Saya teringat dengan salah satu quote : “In every ending there is a new beginning of the next up“. Setiap akhir suatu cerita pasti menjadi awal bagi cerita baru dalam hidup kita. Beban baru senantiasa kita sandang ketika satu tugas telah rampung. So, buat yang baru tamat sekolah ataupun kuliah, welcome to the real world.

Job Seeker
Ketika kita memilih menjadi job seeker, maka kita kembali dihadapkan pada pilihan jenis pekerjaan. Apakah jenis pekerjaan yang kita inginkan? Linear dengan ilmu yang kita pelajari atau justru sebaliknya. Keduanya baik dan punya konsekuensi masing-masing. Pekerjaan yang linear  dengan ilmu yang sebelumnya kita pelajari memberikan kita kesempatan untuk mengaplikasikan langsung ilmu tersebut serta dapat mengembangkannya dengan lebih real. Pekerjaan seperti ini lebih mudah untuk kita beradaptasi karena kita telah memiliki ilmu basicnya.

Berbeda halnya dengan jenis pekerjaan yang tidak linear dengan disiplin ilmu kita. Di sini penuh tantangan dan dibutuhkan kecakapan untuk belajar dengan cepat serta tekanan yang lebih besar. Meski demikian, pekerjaannya akan memberikan pengalaman baru serta ilmu baru bagi kita. Modal utamanya adalah kemampuan untuk beradaptasi, bersosialisasi, berkomunikasi, fast learner, serta keinginan yang kuat untuk menaklukan setiap hal yang notabenenya baru bagi diri kita.

Setelah memilih jenis pekerjaan (linear atau tidak linear dengan disiplin ilmu kita), hal berikutnya yang akan kita hadapi adalah jenis instansi/kantor tempat di mana kita akan bekerja. Pemilihan tempat untuk bekerja tidaklah mudah karena kita dihadapkan pada keterbatasan kesempatan kerja dan jumlah instansi yang ada untuk menampung kita. Dalam hal ini, sebagai generasi muda, umumnya akan sangat labil. Ada yang memilih tempat kerja (dan juga pekerjaannya) karena gengsi dan adapula karena kesenangan hati. Keduanya sangat bertolak belakang dan konsekuensinya tidaklah mudah. Jujur saja, pada umumnya kita memilih pekerjaan karena mengedepankan gengsi, bukan hati. Kita bekerja demi prestise (penilaian orang lain). Kita mengabaikan suara jiwa (hati). Inilah mengapa bekerja menjadi momok yang justru membuat kita berujung pada stress. Karena kita tidak menikmati pekerjaan itu. Bagi saya, being happy is my priority. Kalau kita senang, maka pekerjaan pasti dapat diselesaikan dengan baik. Dan ketika pekerjaan diselesaikan dengan baik, berarti kita memberikan yang terbaik. Ini tentu akan membuat kita lebih puas dan secara tidak langsung peningkatan karir akan datang dengan mudahnya, bahkan tanpa diduga-duga.

Kebahagian menjadi  seorang job seeker lebih bersifat individu, kalaupun mau kita perluas, paling jauh yakni kebahagian keluarga kita. Karena hasil dari pekerjaan kita hanya dapat dirasakan oleh diri kita dan keluarga saja. Namun being a job seeker bisa jadi sebuah langkah awal untuk belajar hingga kita menemukan kepercayaan diri to start our own business (being a job creator), isnt it?

Job Creator
Ada istilah “yang muda yang dipercaya”. Secara eksplisit ini menegaskan bahwa terbuka peluang yang luas bagi kawula muda untuk berkarya, pemberi solusi, dan penerang. Untuk menjadi seorang creator butuh kreatifitas dan keberanian. Menjadi job creatortidak sulit, meski tidak pula dibilang mudah. Kita dihadapkan pada tantangan untuk sukses dan gagal yang pointnya sama, yakni 50:50. Tapi dengan perhitungan dan analisa yang tepat justru bisa dibuat menjadi 99 : 1. Semuanya kembali kepada personalnya dan seberapa matang dirinya dalam membuat analisa atas rencananya. Ini sangat mungkin terjadi dengan berbekal ilmu secara teori serta tidak segan untuk belajar dari pengalaman para pendahulu.

Next, menjadi job creator berarti mengurangi pengangguran karena kita dapat membuka peluang kerja bagi orang lain. So, satu langkah justru bisa menjadi berkah bagi banyak pihak. Apapun pilihan kita, baik menjadi a job seeker or a job creator, pastikan kita menjadi personal yang totally dalam menjalaninya. Sehingga setiap benturan akan tampak sebagai kerikil untuk dilewati, bukan dikeluhkan. Mari kita bekerja dengan hati, bukan mengedepankan gengsi.

Para pencari kerja (job seeker) perlu mendefinisikan tujuannya dengan jelas: apa yang ia cari dengan pekerjaan. Job seeker juga harus melihat kalau di sisi yang lain ada yang disebut sebagai job creator. Orang pintar apakah akan berhasil sebagai job seeker atau job creator?

Dunia Kerja Tak Lagi Butuh Lulusan Pintar
Pembekalan bagi mahasiswa yang akan lulus sangat dibutuhkan agar mereka tidak kaget saat menghadapi dunia kerja. Untuk itu, Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kembali menggelar rutinitas triwulan mereka, yakni Pelatihan Pengembangan Diri dan Kiat Menembus Dunia Kerja.

Dalam kegiatan tersebut hadir berbagai narasumber. Mulai dari Pakar Komunikasi dan SDM Lena Satlita, utusan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DIY, Heru Purnama, Dekan FE UNY Sugiharsono, Ketua Penyelenggara Lina Nur Hidayati, serta Kasubag Kemahasiswaan dan Alumni Kumala S W G.

Pada kesempatan itu, Ketua Penyelenggara Lina Nur Hidayati menjelaskan, pelatihan tersebut merupakan kelanjutan dari berbagai program yang sudah dilaksanakan sebelumnya di fakultas, seperti leadership dan entrepreneurship.

“Kami tahu, para lulusan akan terbagi dua, yaitu yang mencari dan yang menciptakan kerja. Oleh karena itu, harapan kami, pelatihan ini mampu memberi bekal bagi keduanya dengan berbagai informasi serta meningkatkan rasa percaya diri untuk bersaing dengan para lulusan dari universitas lain,” ungkap Lina, seperti dilansir oleh Okezone, Senin (3/3/2014).

Pendapat senada turut disampaikan Dekan FE UNY, Sugiharsono. Dia mengungkapkan, fakultas mengadakan pelatihan tersebut agar para lulusan bisa terbantu mencapai kedudukan yang baik di masyarakat kelak.

“Tidak semua fakultas di UNY ini menyelenggarakan pelatihan Job Hunting semacam ini. Kami pertahankan pelatihan ini karena kami merasa orang pintar itu masih kalah dengan orang yang berkepribadian baik. Walau dia pintar, tapi tetap tidak akan bisa bekerja dengan baik kalau kepribadiannya tidak baik,” imbuh Sugiharsono. Pendapat tersebut dikuatkan oleh data yang dipaparkan Pakar Komunikasi dan SDM Lena Satlita. Dia menyebut, dunia kerja tidak lagi mengharapkan lulusan perguruan tinggi yang pintar.

“Berdasarkan survei terhadap 457 pimpinan perusahaan yang diterbitkan National Association of Colleges and Employers, USA, 2002, Kemampuan Komunikasi, Kejujuran/Integritas, Kemampuan Bekerjasama, Kemampuan Interpersonal, dan Beretika menempati lima peringkat teratas kompetensi lulusan yang diharapkan dunia kerja. Sementara itu, indeks prestasi justru berada di peringkat 17,” beber Lina.

Untuk itu, Dosen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial UNY itu berpesan agar para mahasiswa melatih softskill mereka. Terutama dalam proses wawancara yang menjadi penentu dalam rekrutmen pegawai.

“Jagalah sikap dan pintarlah merespons setiap situasi. Karena seorang pewawancara akan mengetahui kepribadian Anda hanya dari cara jalan, cara menggerakkan tubuh, atau bahkan posisi meletakkan tas saat duduk di kursi wawancara,” imbuhnya.

Sumber:

http://kampus.okezone.com/read/2014/03/03/373/949237/dunia-kerja-tak-lagi-butuh-lulusan-pintar

0 komentar:

Posting Komentar