Sarjana: Job Seeker or Job Creator?
Banyak sekali pilihan dalam hidup ini
yang membuat kita terbentur pada pilihan yang rumit. Hal ini berlaku untuk
apapun. Betapa bahagianya yang telah menyelesaikan studynya di sebuah perguruan
tinggi. Sebuah penantian yang ditunggu akhirnya berbuah manis, namun apakah
lulus adalah akhir dari sebuah perjuangan? Tentu tidak.
Kita boleh bahagia dan merayakan
keberhasilan tersebut, namun jangan terlena dengan itu. Saya teringat dengan
salah satu quote : “In every ending there is a new beginning of the next up“.
Setiap akhir suatu cerita pasti menjadi awal bagi cerita baru dalam hidup kita.
Beban baru senantiasa kita sandang ketika satu tugas telah rampung. So, buat
yang baru tamat sekolah ataupun kuliah, welcome to the real world.
Job Seeker
Ketika kita memilih menjadi job
seeker, maka kita kembali dihadapkan pada pilihan jenis pekerjaan. Apakah
jenis pekerjaan yang kita inginkan? Linear dengan ilmu yang kita pelajari atau
justru sebaliknya. Keduanya baik dan punya konsekuensi masing-masing. Pekerjaan
yang linear dengan ilmu yang sebelumnya kita pelajari memberikan kita
kesempatan untuk mengaplikasikan langsung ilmu tersebut serta dapat
mengembangkannya dengan lebih real. Pekerjaan seperti ini lebih
mudah untuk kita beradaptasi karena kita telah memiliki ilmu basicnya.
Berbeda halnya dengan jenis pekerjaan
yang tidak linear dengan disiplin ilmu kita. Di sini penuh tantangan dan
dibutuhkan kecakapan untuk belajar dengan cepat serta tekanan yang lebih besar.
Meski demikian, pekerjaannya akan memberikan pengalaman baru serta ilmu baru
bagi kita. Modal utamanya adalah kemampuan untuk beradaptasi, bersosialisasi,
berkomunikasi, fast learner, serta keinginan yang kuat untuk
menaklukan setiap hal yang notabenenya baru bagi diri kita.
Setelah memilih jenis pekerjaan (linear
atau tidak linear dengan disiplin ilmu kita), hal berikutnya yang akan kita
hadapi adalah jenis instansi/kantor tempat di mana kita akan bekerja. Pemilihan
tempat untuk bekerja tidaklah mudah karena kita dihadapkan pada keterbatasan
kesempatan kerja dan jumlah instansi yang ada untuk menampung kita. Dalam hal
ini, sebagai generasi muda, umumnya akan sangat labil. Ada yang memilih tempat
kerja (dan juga pekerjaannya) karena gengsi dan adapula karena kesenangan hati.
Keduanya sangat bertolak belakang dan konsekuensinya tidaklah mudah. Jujur
saja, pada umumnya kita memilih pekerjaan karena mengedepankan gengsi, bukan
hati. Kita bekerja demi prestise (penilaian orang lain). Kita mengabaikan suara
jiwa (hati). Inilah mengapa bekerja menjadi momok yang justru membuat kita
berujung pada stress. Karena kita tidak menikmati pekerjaan itu. Bagi saya, being
happy is my priority. Kalau kita senang, maka pekerjaan pasti dapat
diselesaikan dengan baik. Dan ketika pekerjaan diselesaikan dengan baik,
berarti kita memberikan yang terbaik. Ini tentu akan membuat kita lebih puas
dan secara tidak langsung peningkatan karir akan datang dengan mudahnya, bahkan
tanpa diduga-duga.
Kebahagian menjadi seorang job
seeker lebih bersifat individu, kalaupun mau kita perluas, paling jauh
yakni kebahagian keluarga kita. Karena hasil dari pekerjaan kita hanya dapat
dirasakan oleh diri kita dan keluarga saja. Namun being a job seeker bisa
jadi sebuah langkah awal untuk belajar hingga kita menemukan kepercayaan diri to
start our own business (being a job creator), isnt it?
Job Creator
Ada istilah “yang muda yang dipercaya”.
Secara eksplisit ini menegaskan bahwa terbuka peluang yang luas bagi kawula
muda untuk berkarya, pemberi solusi, dan penerang. Untuk menjadi seorang creator butuh
kreatifitas dan keberanian. Menjadi job creatortidak sulit, meski
tidak pula dibilang mudah. Kita dihadapkan pada tantangan untuk sukses dan
gagal yang pointnya sama, yakni 50:50. Tapi dengan perhitungan dan analisa yang
tepat justru bisa dibuat menjadi 99 : 1. Semuanya kembali kepada personalnya
dan seberapa matang dirinya dalam membuat analisa atas rencananya. Ini sangat
mungkin terjadi dengan berbekal ilmu secara teori serta tidak segan untuk
belajar dari pengalaman para pendahulu.
Next, menjadi job creator berarti
mengurangi pengangguran karena kita dapat membuka peluang kerja bagi orang
lain. So, satu langkah justru bisa menjadi berkah bagi banyak pihak. Apapun
pilihan kita, baik menjadi a job seeker or a job creator, pastikan
kita menjadi personal yang totally dalam menjalaninya. Sehingga setiap benturan
akan tampak sebagai kerikil untuk dilewati, bukan dikeluhkan. Mari kita bekerja
dengan hati, bukan mengedepankan gengsi.
Para pencari kerja (job seeker) perlu
mendefinisikan tujuannya dengan jelas: apa yang ia cari dengan pekerjaan. Job
seeker juga harus melihat kalau di sisi yang lain ada yang disebut sebagai job
creator. Orang pintar apakah akan berhasil sebagai job seeker atau job creator?
Dunia Kerja Tak Lagi Butuh Lulusan
Pintar
Pembekalan bagi mahasiswa yang akan
lulus sangat dibutuhkan agar mereka tidak kaget saat menghadapi dunia kerja.
Untuk itu, Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kembali
menggelar rutinitas triwulan mereka, yakni Pelatihan Pengembangan Diri dan Kiat
Menembus Dunia Kerja.
Dalam kegiatan tersebut hadir berbagai
narasumber. Mulai dari Pakar Komunikasi dan SDM Lena Satlita, utusan dari Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) DIY, Heru Purnama, Dekan FE UNY Sugiharsono, Ketua
Penyelenggara Lina Nur Hidayati, serta Kasubag Kemahasiswaan dan Alumni Kumala
S W G.
Pada kesempatan itu, Ketua Penyelenggara
Lina Nur Hidayati menjelaskan, pelatihan tersebut merupakan kelanjutan dari
berbagai program yang sudah dilaksanakan sebelumnya di fakultas, seperti
leadership dan entrepreneurship.
“Kami tahu, para lulusan akan terbagi
dua, yaitu yang mencari dan yang menciptakan kerja. Oleh karena itu, harapan
kami, pelatihan ini mampu memberi bekal bagi keduanya dengan berbagai informasi
serta meningkatkan rasa percaya diri untuk bersaing dengan para lulusan dari
universitas lain,” ungkap Lina, seperti dilansir oleh Okezone, Senin
(3/3/2014).
Pendapat senada turut disampaikan Dekan
FE UNY, Sugiharsono. Dia mengungkapkan, fakultas mengadakan pelatihan tersebut
agar para lulusan bisa terbantu mencapai kedudukan yang baik di masyarakat
kelak.
“Tidak semua fakultas di UNY ini
menyelenggarakan pelatihan Job Hunting semacam ini. Kami pertahankan pelatihan
ini karena kami merasa orang pintar itu masih kalah dengan orang yang
berkepribadian baik. Walau dia pintar, tapi tetap tidak akan bisa bekerja
dengan baik kalau kepribadiannya tidak baik,” imbuh Sugiharsono. Pendapat
tersebut dikuatkan oleh data yang dipaparkan Pakar Komunikasi dan SDM Lena
Satlita. Dia menyebut, dunia kerja tidak lagi mengharapkan lulusan perguruan
tinggi yang pintar.
“Berdasarkan survei terhadap 457
pimpinan perusahaan yang diterbitkan National Association of Colleges and
Employers, USA, 2002, Kemampuan Komunikasi, Kejujuran/Integritas, Kemampuan
Bekerjasama, Kemampuan Interpersonal, dan Beretika menempati lima peringkat
teratas kompetensi lulusan yang diharapkan dunia kerja. Sementara itu, indeks
prestasi justru berada di peringkat 17,” beber Lina.
Untuk itu, Dosen Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial UNY itu berpesan agar para mahasiswa melatih
softskill mereka. Terutama dalam proses wawancara yang menjadi penentu dalam
rekrutmen pegawai.
“Jagalah sikap dan pintarlah merespons
setiap situasi. Karena seorang pewawancara akan mengetahui kepribadian Anda
hanya dari cara jalan, cara menggerakkan tubuh, atau bahkan posisi meletakkan
tas saat duduk di kursi wawancara,” imbuhnya.
Sumber:
http://kampus.okezone.com/read/2014/03/03/373/949237/dunia-kerja-tak-lagi-butuh-lulusan-pintar
0 komentar: