TUGAS 4 : OPINI TENTANG JOB SEEKER DAN JOB CREATOR



Sarjana: Job Seeker or Job Creator?
Banyak sekali pilihan dalam hidup ini yang membuat kita terbentur pada pilihan yang rumit. Hal ini berlaku untuk apapun. Betapa bahagianya yang telah menyelesaikan studynya di sebuah perguruan tinggi. Sebuah penantian yang ditunggu akhirnya berbuah manis, namun apakah lulus adalah akhir dari sebuah perjuangan? Tentu tidak.

Kita boleh bahagia dan merayakan keberhasilan tersebut, namun jangan terlena dengan itu. Saya teringat dengan salah satu quote : “In every ending there is a new beginning of the next up“. Setiap akhir suatu cerita pasti menjadi awal bagi cerita baru dalam hidup kita. Beban baru senantiasa kita sandang ketika satu tugas telah rampung. So, buat yang baru tamat sekolah ataupun kuliah, welcome to the real world.

Job Seeker
Ketika kita memilih menjadi job seeker, maka kita kembali dihadapkan pada pilihan jenis pekerjaan. Apakah jenis pekerjaan yang kita inginkan? Linear dengan ilmu yang kita pelajari atau justru sebaliknya. Keduanya baik dan punya konsekuensi masing-masing. Pekerjaan yang linear  dengan ilmu yang sebelumnya kita pelajari memberikan kita kesempatan untuk mengaplikasikan langsung ilmu tersebut serta dapat mengembangkannya dengan lebih real. Pekerjaan seperti ini lebih mudah untuk kita beradaptasi karena kita telah memiliki ilmu basicnya.

Berbeda halnya dengan jenis pekerjaan yang tidak linear dengan disiplin ilmu kita. Di sini penuh tantangan dan dibutuhkan kecakapan untuk belajar dengan cepat serta tekanan yang lebih besar. Meski demikian, pekerjaannya akan memberikan pengalaman baru serta ilmu baru bagi kita. Modal utamanya adalah kemampuan untuk beradaptasi, bersosialisasi, berkomunikasi, fast learner, serta keinginan yang kuat untuk menaklukan setiap hal yang notabenenya baru bagi diri kita.

Setelah memilih jenis pekerjaan (linear atau tidak linear dengan disiplin ilmu kita), hal berikutnya yang akan kita hadapi adalah jenis instansi/kantor tempat di mana kita akan bekerja. Pemilihan tempat untuk bekerja tidaklah mudah karena kita dihadapkan pada keterbatasan kesempatan kerja dan jumlah instansi yang ada untuk menampung kita. Dalam hal ini, sebagai generasi muda, umumnya akan sangat labil. Ada yang memilih tempat kerja (dan juga pekerjaannya) karena gengsi dan adapula karena kesenangan hati. Keduanya sangat bertolak belakang dan konsekuensinya tidaklah mudah. Jujur saja, pada umumnya kita memilih pekerjaan karena mengedepankan gengsi, bukan hati. Kita bekerja demi prestise (penilaian orang lain). Kita mengabaikan suara jiwa (hati). Inilah mengapa bekerja menjadi momok yang justru membuat kita berujung pada stress. Karena kita tidak menikmati pekerjaan itu. Bagi saya, being happy is my priority. Kalau kita senang, maka pekerjaan pasti dapat diselesaikan dengan baik. Dan ketika pekerjaan diselesaikan dengan baik, berarti kita memberikan yang terbaik. Ini tentu akan membuat kita lebih puas dan secara tidak langsung peningkatan karir akan datang dengan mudahnya, bahkan tanpa diduga-duga.

Kebahagian menjadi  seorang job seeker lebih bersifat individu, kalaupun mau kita perluas, paling jauh yakni kebahagian keluarga kita. Karena hasil dari pekerjaan kita hanya dapat dirasakan oleh diri kita dan keluarga saja. Namun being a job seeker bisa jadi sebuah langkah awal untuk belajar hingga kita menemukan kepercayaan diri to start our own business (being a job creator), isnt it?

Job Creator
Ada istilah “yang muda yang dipercaya”. Secara eksplisit ini menegaskan bahwa terbuka peluang yang luas bagi kawula muda untuk berkarya, pemberi solusi, dan penerang. Untuk menjadi seorang creator butuh kreatifitas dan keberanian. Menjadi job creatortidak sulit, meski tidak pula dibilang mudah. Kita dihadapkan pada tantangan untuk sukses dan gagal yang pointnya sama, yakni 50:50. Tapi dengan perhitungan dan analisa yang tepat justru bisa dibuat menjadi 99 : 1. Semuanya kembali kepada personalnya dan seberapa matang dirinya dalam membuat analisa atas rencananya. Ini sangat mungkin terjadi dengan berbekal ilmu secara teori serta tidak segan untuk belajar dari pengalaman para pendahulu.

Next, menjadi job creator berarti mengurangi pengangguran karena kita dapat membuka peluang kerja bagi orang lain. So, satu langkah justru bisa menjadi berkah bagi banyak pihak. Apapun pilihan kita, baik menjadi a job seeker or a job creator, pastikan kita menjadi personal yang totally dalam menjalaninya. Sehingga setiap benturan akan tampak sebagai kerikil untuk dilewati, bukan dikeluhkan. Mari kita bekerja dengan hati, bukan mengedepankan gengsi.

Para pencari kerja (job seeker) perlu mendefinisikan tujuannya dengan jelas: apa yang ia cari dengan pekerjaan. Job seeker juga harus melihat kalau di sisi yang lain ada yang disebut sebagai job creator. Orang pintar apakah akan berhasil sebagai job seeker atau job creator?

Dunia Kerja Tak Lagi Butuh Lulusan Pintar
Pembekalan bagi mahasiswa yang akan lulus sangat dibutuhkan agar mereka tidak kaget saat menghadapi dunia kerja. Untuk itu, Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kembali menggelar rutinitas triwulan mereka, yakni Pelatihan Pengembangan Diri dan Kiat Menembus Dunia Kerja.

Dalam kegiatan tersebut hadir berbagai narasumber. Mulai dari Pakar Komunikasi dan SDM Lena Satlita, utusan dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DIY, Heru Purnama, Dekan FE UNY Sugiharsono, Ketua Penyelenggara Lina Nur Hidayati, serta Kasubag Kemahasiswaan dan Alumni Kumala S W G.

Pada kesempatan itu, Ketua Penyelenggara Lina Nur Hidayati menjelaskan, pelatihan tersebut merupakan kelanjutan dari berbagai program yang sudah dilaksanakan sebelumnya di fakultas, seperti leadership dan entrepreneurship.

“Kami tahu, para lulusan akan terbagi dua, yaitu yang mencari dan yang menciptakan kerja. Oleh karena itu, harapan kami, pelatihan ini mampu memberi bekal bagi keduanya dengan berbagai informasi serta meningkatkan rasa percaya diri untuk bersaing dengan para lulusan dari universitas lain,” ungkap Lina, seperti dilansir oleh Okezone, Senin (3/3/2014).

Pendapat senada turut disampaikan Dekan FE UNY, Sugiharsono. Dia mengungkapkan, fakultas mengadakan pelatihan tersebut agar para lulusan bisa terbantu mencapai kedudukan yang baik di masyarakat kelak.

“Tidak semua fakultas di UNY ini menyelenggarakan pelatihan Job Hunting semacam ini. Kami pertahankan pelatihan ini karena kami merasa orang pintar itu masih kalah dengan orang yang berkepribadian baik. Walau dia pintar, tapi tetap tidak akan bisa bekerja dengan baik kalau kepribadiannya tidak baik,” imbuh Sugiharsono. Pendapat tersebut dikuatkan oleh data yang dipaparkan Pakar Komunikasi dan SDM Lena Satlita. Dia menyebut, dunia kerja tidak lagi mengharapkan lulusan perguruan tinggi yang pintar.

“Berdasarkan survei terhadap 457 pimpinan perusahaan yang diterbitkan National Association of Colleges and Employers, USA, 2002, Kemampuan Komunikasi, Kejujuran/Integritas, Kemampuan Bekerjasama, Kemampuan Interpersonal, dan Beretika menempati lima peringkat teratas kompetensi lulusan yang diharapkan dunia kerja. Sementara itu, indeks prestasi justru berada di peringkat 17,” beber Lina.

Untuk itu, Dosen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial UNY itu berpesan agar para mahasiswa melatih softskill mereka. Terutama dalam proses wawancara yang menjadi penentu dalam rekrutmen pegawai.

“Jagalah sikap dan pintarlah merespons setiap situasi. Karena seorang pewawancara akan mengetahui kepribadian Anda hanya dari cara jalan, cara menggerakkan tubuh, atau bahkan posisi meletakkan tas saat duduk di kursi wawancara,” imbuhnya.

Sumber:

http://kampus.okezone.com/read/2014/03/03/373/949237/dunia-kerja-tak-lagi-butuh-lulusan-pintar

Ringkasan Jurnal         :

Judul       :  Analisis Jurnal “Pengaruh Keadilan Organisasi dan                                                                
    sistem Pengendalian Intern Terhadap Kecurangan (Fraud)”
(studi empiris pada kantor cabang utama bank pemerintah di kota   padang)
Penulis                         : Lisa Amelia Herman
Universitas                  : Universitas Negri Padang


ABSTRACT

This research aimed to know the influence of e-audit application toward the fraud prevention within Gorontalo Provincial Government. The population of this research was the Finance Regional Bureau of Gorontalo Province staff, particularly staff of budgeting and regional financial development, treasury, income and finance revenue, and regional wealth development units. The sampling technique was by purposive sampling with 20 people as the sample. Data collection was done by questionnaire, and data analysis was done by simple linear regression technique. The result showed that the application of e-audit had a significant influence toward fraud prevention as much as 19.2%. This means that the more optimal the e-application at the Finance Regional Bureau of Gorontalo Province, the better the fraud prevention within Gorontalo Provincial Government. Nevertheless, the influence was categorized as low. The reason behind was the application of e-audit was relatively new started from 2012, and the application was only in investigation for a specific purpose by the Auditing Board.
Keywords: the application of e-audit, fraud prevention.

PENDAHULUAN

Reformasi birokrasi menuntut pengelolaan keuangan negara diselenggarakan secara bersih, akuntabel, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk mewujudkannya, maka diperlukan suatu pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara. Pemeriksaan adalah proses
identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, (Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006:2).

Kegiatan pemeriksaan ini dilakukan oleh suatu badan pemeriksa yang independen. Hal ini
sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945 pasal 25E dalam Hartoyo (2011:178) yang menyebutkan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Dalam hal ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah dan lembaga atau badan lainnya. Hal ini sesuai dengan peraturan yang tertuang dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Adapun hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK RI bukan hanya menghasilkan opini atas laporan keuangan yang diaudit tetapi juga memberikan catatan hasil temuan. Temuan tersebut menjelaskan kelemahan pengendalian internal dan ketidaktaatan entitas terhadap peraturan perundang-undangan. Hasil audit juga memberikan informasi mengenai potensi kerugian negara/daerah yang ditemukan dalam proses audit akibat dari penyalahgunaan dan inefisiensi penggunaan APBN/APBD, (Setyaningrum, 2012:2).

BPK RI dalam melaksanakan tugas pemeriksaan hanya diberi waktu selama 2 bulan,sedangkan jumlah entitas pemeriksaan BPK dari tahun ke tahun semakin bertambah. Seperti yang dijelaskan dalam Buletin Internal BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan Edisi Kelima (2012:2), dengan semakin bertambahnya jumlah entitas pengelola keuangan negara dan diperhadapkan dengan waktu pemeriksaan yang singkat sedangkan jumlah pemeriksa BPK masih terbatas mengakibatkan BPK harus mengambil cara yang lebih baik untuk menambah cakupan pemeriksaan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Hartoyo (2011:178) dalam penelitiannya yang berjudul Upaya Peningkatan Kinerja Pemeriksaan BPK RI Menggunakan Computer Assisted Audit Techniques, menyatakan agar tugas pemeriksaan dapat berjalan dengan efektif maka diperlukan sebuah perangkat yang membantu auditor dalam melakukan pemeriksaan. Cara tersebut dikenal dengan istilah BPK sinergi.

BPK sinergi adalah satu sistem yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dengan
membentuk sinergi data sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih cepat, efisien, dan efektif. BPK sinergi dilaksanakan dengan strategi link and match yang diawali dengan mengidentifikasikan informasi apa saja yang diperlukan dan harus diminta oleh BPK kepada
pemerintah. Informasi tersebut dapat berupa data keuangan maupun non keuangan yang kemudian diolah dan digunakan dalam proses audit secara elektronis untuk dipadukan dengan
data dan informasi yang diperoleh langsung di tempat entitas yang diperiksa. Disamping itu,
BPK akan dapat melakukan perekaman, pengolahan, pertukaran, pemanfaatan, dan monitoring data yang bersumber dari berbagai pihak dalam rangka melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara.

BPK sinergi dapat dilaksanakan melalui penerapan e-audit. Dimana e-audit adalah sebuah sistem yang membentuk sinergi antara sistem internal BPK (e-BPK) dengan sistem informasi
milik entitas pemeriksaan (e-auditee) melalui sebuah komunikasi data secara onlinen dan membentuk pusat data pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di BPK. Penerapan e-audit tersebut memberikan keuntungan baik bagi BPK selaku auditor maupun auditee. Bagi
BPK, pemeriksaan akan lebih efektif, cakupan pemeriksaan akan lebih luas, biaya pemeriksaan akan lebih hemat, serta proses dan penyelesaian pemeriksaan akan lebih cepat. Sedangkan untuk auditee, memberikan keuntungan seperti lebih menghemat waktu dalam menyediakan dokumen pertanggungjawaban keuangan yang diperlukan pemeriksa serta kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan dan pertanggungjawabn keuangan negara dapat lebih cepat diketahui dan diperbaiki melalui pemeriksaan BPK secara e-audit.

Pemeriksaan dengan sistem e-audit bukanlah sebuah sistem pemeriksaan yang baru.
Pemeriksaan dengan menggunakan teknologi informasi tersebut telah digunakan pada sektor
privat di berbagai negara. Pada sektor tersebut, istilah e-audit dikenal dengan Computer Assisted Audit Techniques (CAATs). Dengan adanya pemanfaatan CAATs akan dapat mengatasi risiko fraud dan dapat mendeteksi kegiatan yang berpotensi fraud, (Olasanmi, 2013:77). Manfaat yang sama juga akan dihasilkan dengan penerapan e-audit pada sektor publik. Hal ini dinyatakan oleh Hadi Poernomo selaku Ketua BPK RI dalam BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta (2012:1) yang meyakini penerapan e-audit yang dilakukan BPK RI dapat mencegah, mendeteksi, dan menelusuri terjadinya fraud atau kecurangan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Hal ini membuat semua pihak dituntut untuk dan akuntabel sehingga mampu mengurangi korupsi, kolusi, dan nepotisme secara sistematik sejak dini.

Oleh karena itu, untuk mewujudkannya diperlukan suatu kesepakatan antara pihak BPK dan
pihak auditee baik berupa pemerintah pusat, kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.
Kesepakatan penerapan e-audit dinyatakan dalam penandatanganan Nota Kesepahaman dan Keputusan Bersama tentang Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Informasi untuk Akses Data. Sebagaimana yang diberitakan oleh Aprillia dalam media online VIVAnews edisi 24 Desember 2012, penandatanganan nota kesepahaman yang telah dilakukan BPK RI hingga
November Tahun 2012 mencapai 726 entitas. Salah satu entitas yang melakukan penandatanganan tersebut adalah Provinsi Gorontalo.Adanya penandatanganan nota kesepahaman antara BPK RI Perwakilan Provinsi Gorontalo dengan pemerintah Provinsi Gorontalo, diharapkan merupakan langkah awal untuk mewujudkan penerapan e-audit secara optimal. Apalagi, setelah melihat prestasi dari Provinsi Gorontalo yang merupakan provinsi yang baru berdiri pada tahun 2001 dan pada tahun 2002 langsung mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam pengelolaan keuangan daerahnya. Bahkan bukan hanya tahun 2002 saja Provinsi Gorontalo memperoleh opini tersebut, namun juga pada tahun 2003, 2004, 2005, dan 2007. Sedangkan untuk tahun 2006, 2008, 2009, 2010, dan 2011 Provinsi Gorontalo mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

Provinsi Gorontalo selaku pemerintah daerah terdiri dari berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang melaksanakan tupoksi masing-masing dan mempunyai kewajiban dalam melaporkan kegiatan dan transaksi-transaksinya dalam bentuk laporan keuangan. Agar
pemerintah Provinsi Gorontalo dapat menyajikan laporan keuangan daerah, maka harus melakukan penggabungan (konsolidasi) laporan keuangan dari tiap-tiap SKPD. Hal ini disebabkan dalam struktur pemerintah daerah terdiri dari dua entitas, yaitu entitas akuntansi dan entitas pelaporan.

Perbedaan dari kedua entitas di atas dapat dilihat dari definisi dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No. 24 Tahun 2006.Dimana entitas akuntansi selaku pengguna anggaran atau barang sehingga wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan. Sedangkan entitas pelaporan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Adapun entitas pelaporan pada pemerintah Provinsi Gorontalo adalah Badan Keuangan Daerah (BKD).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji pengaruh dari penerapan
pemeriksaan dengan menggunakan sistem e-audit pada entitas pelaporan (BKD Provinsi Gorontalo) terhadap pencegahan fraud di pemerintah Provinsi Gorontalo. Sehingga, judul dari penelitian ini adalah “Pengaruh Penerapan E-Audit Terhadap Pencegahan Fraud di Pemerintah Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Pada Badan Keuangan Daerah Provinsi Gorontalo)”.Sehingga, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan e-audit pada BKD Provinsi Gorontalo terhadap pencegahan fraud di pemerintah Provinsi Gorontalo.

Kerangka Pemikiran Semenjak adanya era reformasi pada tahun 1998, mengakibatkan tuntutan masyarakat terhadap si dan akuntabilitas publik meningkat. Transparansi dan akuntabilitas publik dapat  diwujudkan melalui laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian/lembaga, BUMN, maupun BUMD yang telah diaudit atau diperiksa oleh lembaga yang independen. Lembaga tersebut adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2011). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pemeriksa keuangan negara, BPK berhak untuk melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu pada setiap instansi pemerintahan. Menurut Rai (2010:30), kegiatan pemeriksaan tersebut harus berdasarkan pada SPKN.Dimana SPKN sendiri mengharuskan BPK merancang pemeriksaannya sedemikian rupa sehingga dapat mendeteksi risiko fraud dan melaporkan fraud yang ditemukan. Fraud sendiri merupakan penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu, (Wells dalam Amrizal, 2004:2). Mengingat bahwa pemberantasan fraud tidaklah mudah karena modus penyelewengan uang negara semakin beragam.

Untuk mewujudkan hal tersebut, BPK menerapkan stategi BPK sinergi. BPK sinergi adalah sistem yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dengan membentuk sinergi data sehingga pemeriksaan dapat dilakukan dengan lebih cepat, efisien, dan efektif. BPK sinergi dapat diterapkan melalui sistem e-audit. E-audit adalah sebuah pemeriksaan yang menggunakan sistem komputer berjaringan. E-audit diterapkan dengan menggunakan pemanfaatan teknologi informasi yang telah menjadi suatu kebutuhan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pelayanan di sektor publik. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin luasnya penggunaan teknologi informasi pada unit-unit pemerintah dan BUMN/BUMD. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut diwujudkan antara lain dengan penggunaan dan pengelolaan Database dalam pengelolaan data keuangan maupun data non keuangan. E-audit atau pemeriksaan secara elektronis bukanlah suatu jenis pemeriksaan yang baru.

Pemeriksaan yang memanfaatkan teknologi informasi tersebut telah digunakan pada sektor
privat di berbagai negera. Pada sektor tersebut, istilah e-audit dikenal dengan Teknik Audit
Berbantuan Komputer (TABK) atau Computer Assisted Audit Techniques (CAATs). Penggunaan CAATs mengharuskan auditee untuk menggunakan sistem informasi dalam menyiapkan dokumen yang terkait dengan transaksi-transaksi dan kegiatan mereka. Seperti yang terdapat dalam penelitian Yükçü dan Gönen (2012:1222) yang menyebutkan bahwa dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi mengharuskan persiapan dokumen dan pengaturan catatan akuntansi dilaksanakan secara elektronis. Penelitian yang berhubungan dengan CAATs dilakukan oleh Jakšić (2009:10) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan CAATs yang memanfaatkan kemajuan teknologi memberikan keuntungan bagi auditor. Adapun keuntungannya yaitu auditor dapat memastikan pengendalian internal, mengakses catatan, dan menghasilkan informasi yang efisien yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan audit secara manual.Penggunaan CAATs juga dapat mencegah dan mendeteksi dari tindakan fraud. Hal ini dibuktikan oleh Olasanmi (2013:77) yang menyatakan bahwa penggunaan CAATs dapat mengatasi risiko fraud dan dapat mendeteksi kegiatan yang berpotensi fraud. Ia juga menambahkan bahwa CAATs membantu meningkatkan kinerja para auditor. CAATs meningkatkan kinerja pribadi dan produktivitas auditor dengan meningkatkan efisiensi proses audit secara profesional. Berdasarkan uraian di atas, maka diharapkan penggunaan CAATs yang dalam lingkungan sektor publik dikenal dengan penerapan e-audit diharapkan dapat mencegah dan menekan tingkat penyelewengan (fraud). Hal ini disebabkan oleh sistem e-audit yang dapat menjadi instrumen early warning system (sistem peringatan dini) jika terjadi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan di sektor publik sehingga dapat lebih efektif mendorong akutabilitas dan si pengelolaan keuangan pada instansi pemerintahan. Dengan demikian, pelaksanaan good governance yang menjadi dambaan rakyat Indonesia dapat terlaksana secara optimal. METODE PENULISAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Berdasarkan tingkat ekplanasi dan kedudukan variabel-variabelnya, penelitian ini termasuk dalam kelompok penelitian kausal. Penelitian kausal adalah suatu penelitian yang menjelaskan hubungan sebab akibat. Jadi, disini ada variabel independen selaku variabel yang mempengaruhi (X) dan dependen selaku variabel yang dipengaruhi (Y).Di bawah ini merupakan gambar 1 yang menggambarkan hubungan sebab (variabel X) akibat (variabel Y).Gambar 1 Desain Penelitian Paradigma Sederhana Keterangan:
X= Penerapan e-audit
Y= Pencegahan fraud

Sementara untuk populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai BKD Provinsi Gorontalo. Sedangkan populasi sasarannya adalah pegawai BKD yang terdapat pada Bidang Anggaran dan Pembinaan Keuangan Daerah, Perbendaharaan, Pendapatan dan Penerimaan Pembiayaan, dan Pembinaan Kekayaan Daerah. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan sampling purposive sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah 20 orang. Dasar pertimbangan sampel tersebut adalah pegawai yang terlibat langsung atau memahami proses penginputan data ke sistem e-auditee atau SIMDA. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden. Operasional Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini diukur dengan instrumen-instrumen yang variabelnya terdiri dari variabel independen berupa penerapan e-audit dan variabel dependen berupa pencegahan fraud. Kedua variabel tersebut diukur melalui instrumen penelitian berbentuk kuesioner. Dimana kuesioner tersebut akan menggunakan skala ordinal.

1. Variabel Independen (Variabel X)
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Dalam penelitian ini, variabel independen atau variabel X adalah penerapan e-audit. Sementara untuk dimensi dari penerapan e-audit menggunakan teori dari BPK RI (2011) yaitu cakupan penerapan e-audit dan faktor penunjang penerapan e-audit dalam kaitannya dengan e-auditee. Dimensi cakupan penerapan e-audit melibatkan indikator yang berhubungan dengan pemerintah daerah. Sementara untuk faktor penunjang penerapan e-audit terdiri dari tiga indikator, yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan standard operating procedure. Indikator yang hanya digunakan pada dimensi faktor penunjang penerapan e-audit adalah sarana dan prasarana dan standard operating procedure. Sedangkan untuk sumber daya manusia tidak digunakan karena indikator tersebut hanya dikhususkan untuk auditor BPK.

2.Variabel Dependen (Variabel Y)
Variabel dependen atau variabel terikat, yaitu variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini, variabel dependen atau variabel Y adalah pencegahan fraud. Sementara untuk penggunaan dimensi dalam pencegahan fraud menggunakan teori COSO dalam Amrizal (2004), yaitu membangun struktur pengendalian
Intern yang baik, mengefektifkan aktivitas pengendalian, dan meningkatkan kultur organisasi.
Sedangkan untuk indikator keadilan dari dimensi meningkatkan kultur organisasi tidak digunakan dalam penelitian ini karena dianggap tidak relevan dengan instansi pemerintahan.

Analisis Data Data yang diperoleh dari kuesioner akan dianalisis dengan menggunakan statistik parametris. Dimana statistik parametris digunakan untuk menganalisis data interval dan rasio. Karena data dalam penelitian ini berskala ordinal maka data tersebut ditransformasikan terlebih Gorontalo sudah sangat baik. Hal ini terlihat dari pencapaian skor untuk variabel penerapan e-audit yang mencapai 82,83%. Walaupun secara keseluruhan penerapan e-audit sudah sangat baik, namun untuk beberapa aspek atau indikator dinilai oleh responden masih perlu dilakukan perbaikan. Indikator-indikator yang perlu diperbaiki tersebut antara lain tentang kejelasan penginputan data dana hibah terutama ke BUMD yang merupakan bagian dari indikator cakupan penerapan e-audit dari kementerian/lembaga ke pemerintah daerah dan dari pemda ke BUMD. Selain itu, perlu diperbaiki juga indikator sarana dan prasarana serta SOP untuk menunjang penerapan e-audit.

Hal tersebut dapat ditempuh melalui peningkatan kinerja sistem jaringan komunikasi media
penyimpanan data BKD yang terhubung dengan server BPK dan kelengkapan jurnal/panduan
teknis penerapan e-audit.

Sementara dalam rangka pencegahan fraud di pemerintah Provinsi Gorontalo, responden menilai upaya yang dilakukan oleh BKD Provinsi Gorontalo juga sudah baik. Hal tersebut
dibuktikan dengan penilaian responden untuk variabel pencegahan fraud yang mencapai 82,65%.

Meskipun secara keseluruhan sudah sangat baik, namun masih ada beberapa aspek/indikator
yang perlu diperbaiki agar kedepannya upaya pencegahan fraud lebih optimal. Indikator-indikator tersebut antara lain, peningkatan pemantauan dalam membangun struktur pengendalian intern yang baik, meningkatkan review kinerja, pengolahan informasi, pengendalian fisik untuk mengefektifkan aktivitas pengendalian. Adapun besar pengaruh dari penerapan e-audit terhadap pencegahan fraud adalah sebesar 19,2%. Walaupun hasil tersebut
menunjukkan bahwa penerapan e-audit pada BKD Provinsi Gorontalo berpengaruh positif dan signifikan terhadap pencegahan fraud di pemerintah Provinsi Gorontalo, namun pengaruh tersebut masih relatif rendah. Hal ini dapat dimaklumi karena penerapan e-audit di pemerintah Provinsi Gorontalo masih tergolong baru dimana penerapannya dilakukan pada tahun 2012 dan belum sepenuhnya diterapkan secara optimal.
Ketidakoptimalan penerapan e-audit disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut.
1.      Jenis pemeriksaan yang telah dilakukan oleh BPK RI Perwakilan Provinsi Gorontalo dengan menggunakan sistem e-audit adalah jenis Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu(PDTT). Sementara pemeriksaan dengan sistem e-audit untuk jenis pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja belum dilaksanakan.
2.      BKD Provinsi Gorontalo selaku auditee belum memahami secara jelas mengenai penginputan data ke sistem e-auditee atau data-data yang dibutuhkan guna melancarkan proses pemeriksaan secara elektronis. Mengingat, keberhasilan e-audit tergantung dari proses penginputan data entitas.
3.      Kurangnya sosialisasi atau bimbingan teknis terkait dengan mekanisme penerapan e-audit, khususnya panduan teknis e-audit. Hasil penelitian ini mendukung teori dari BPK RI (2012) yang menyatakan bahwa dengan penerapan e-audit dapat mencegah fraud secara sistematik. Selain itu, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pada dasarnya pemeriksaan secara elektronis atau e-audit sama seperti pemeriksaan yang dilakukan dengan menggunakan Computer Assisted Audit Techniques (CAATs). Sehingga, hasil penelitian ini juga mendukung penelitian dari Olasanmi (2013) yang menyatakan bahwa penggunaan teknologi audit berbasis komputer dapat mengatasi resiko fraud dan dapat mendeteksi kegiatan yang berpotensi fraud.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan adanya keterbatasan jumlah pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diperhadapkan dengan waktu pemeriksaan yang terbatas dan jumlah entitas dari tahun ketahun semakin bertambah mengakibatkan BPK harus mencari suatu solusi guna menghasilkan pemeriksaan yang berkualitas. Permasalahan tersebut ditempuh melalui penerapan e-audit. Dengan penerapan e-auditdiyakini mampu mencegah terjadinya fraud. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan e-audit di Badan Keuangan Daerah (BKD) Provinsi Gorontalo terhadap pencegahan fraud di pemerintah Provinsi Gorontalo.

Berdasarkan data yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner, hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan bahwa penerapan e-audit berpengaruh positif dan signifikan terhadap pencegahan fraud. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 1.092 atau sebesar 19.2%. Artinya, semakin optimal penerapan e-audit diterapkan maka pencegahan fraud akan semakin meningkat. Dengan kata lain, hipotesis yang diajukan diterima. Akan tetapi, pengaruh dari penerapan e-audit terhadap pencegahan fraud masih relatif rendah. Hal ini dapat dimaklumi karena penerapan e-audit yang diterapkan oleh BPK masih tergolong baru diterapkan pada tahun 2012 dan baru dilaksanakan pada jenis Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).

DAFTAR PUSTAKA

Amrizal. 2004. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan Oleh Internal Auditor. Artikel.
Aprillia, Ririn. 2012. BPK RI Sepakati Cara Mengakses Data. Diakses melalui VIVAnews
http://www.viva.co.id pada tanggal 30 Januari 2013. BPK RI. 2011. Warta BPK. Edisi Juli 2011.BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta. 2012.
Siaran Pers: Implementasi E-Audit Untuk Mencegah Korupsi. BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan. 2012. Sriwijaya. Buletin. Edisi Kelima.
Hartoyo, Agung Dwi. 2011. Upaya Peningkatan Kinerja Pemeriksaan BPK RI menggunakan
Computer Assisted Audit Techniques. Disampaikan dalam Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi Untuk Indonesia. Bandung.
Jakšić, Dejan. 2009. Implementation of Computer Assisted Audit Techniques in Application
Controls Testing. Management Information Systems, Vol. 4 (2009), No. 1, pp. 009-012. Serbia: Faculty of Economics Subotica University of Novi Sad. Olasanmi, Omoneye O. 2013.
Computer Aided Audit Techniques and Fraud Detection. Research Journal of Finance and Accounting Vol.4, No.5, 2013. ISSN 2222.1697 (Paper) ISSN 2222-2847 (Online). Nigeria: Department of Management and Accounting Obafemi Awolowo University Ile-Ife. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga. Peraturan BPK No. 1 Tahun 2011 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan.Rai, I Gusti Agung. 2010. Audit Kinerja Pada Sektor Pubik. Jakarta: Salemba Empat.
Setyaningrum, Dyah. 2012.Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Audit BPK-RI. Jurnal. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sugiyono. 2010. Metode Peneltian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Yükçü, Süleyman and Seçkin Gönen. 2011. Fraud Auditing in Electronic Accounting Practices. African Journal of Business Management Vol. 6(4), pp. 1222-1233,1 February, 2012.ISSN 1993-8233 ©2012 Academic Journals. Turkey: Dokuz Eylul University.

TUGAS 1 : ETIKA DAN PROFESI AKUNTANSI

 ETIKA DAN PROFESI
 
1. ETIKA PROFESI AKUNTANSI MENURUT IAI

Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

1.    Prinsip Etika, prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota.
2.     Aturan Etika, aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan
3.     Interpretasi Aturan Etika, Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

2. PRINSIP ETIKA PROFESI MENURUT IAI

Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.

Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung-jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi.

Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 (empat) kebutuan dasar yang harus dipenuhi :

1.    Kredibilitas.
Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2.    Profesionalisme.
Diperlukan individu yang denga jelas dapat diindentifikasikan oleh pamakai jasa akuntan sebagai profesional dibidang akuntansi.
3.    Kualitas Jasa.
Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan stndar kinerja yang tinggi.
4.    Kepercayaan.
Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemebrian jasa oleh akuntan.

Prinsip Etika Profesi Akuntan :

1.    Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2.    Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3.    Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
4.    Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5.    Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya tkngan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh matifaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
6.    Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati leerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7.    Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8.    Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar proesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.

CONTOH  KASUS PELANGGARAN ETIKA DAN PRINSIP PROFESI AKUNTANSI

Kasus Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya

Jakarta, 19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997.Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.

Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.

ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi.
Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi akuntan.

Analisa : Dalam kasus ini terdapat banyak pelanggaran kode etik profesi akuntan. Prinsip pertama yaitu tanggung jawab profesi telah dilanggar. Karena auditor telah menerbitkan laporan palsu, maka kepercayaan masyarakat terhadapnya yang dianggap dapat menyajikan laporan keuangan telah disalahi. Prinsip kedua yaitu kepentingan publik juga telah dilanggar, karena dianggap telah menyesatkan public dengan disajikannya laporan keuangan yang telah direkayasa. Bahkan prinsip keempat yaitu obyektivitas juga dilanggar, yaitu mereka tidak memikirkan kepentingan public melainkan hanya mementingkan kepentingan klien.