Sumber
artikel : KOMPAS, Minggu 10 November 2013
Jenis
paragraf : Narasi
MENEPI
DI JALAN SUNYI
Ted,
pengusaha dari pesisir barat Irlandia, menolak definisi perdamaian bermuatan
ideologi politik, yang melihat kondisi damai berada di luar diri manusia.
Dunia
yang hiruk-pikuk oleh politik kekuasaan, istilah “damai” hampir selalu
diposisikan beseberangan dengan perang terbuka atau konflik bersenjata. Definisi
yang berakar pada konsep borjuis itu mengandung konotasi negatif tentang
perdamaian.
“Perdamaian
adalah kebajikan dan kondisi pikiran,bukan ketiadaan perang,”ujarnya,
meningatkan pada kutipan filsuf Baruch Spinoza (1632-1677).
Pagi
itu kami berbincang di halaman Upper Hamlet di Plum Village, menunggu Suryati,
yang setelah ditahbiskan menjadi sramaneri (perempuan novis)-tahapan sebelum
menjadi biksuni-dikenal sebagai Sister Tang Tin Yeu atau Sradha Maitri.
Upper
hamlet adalah satu dari lima padepokandan satu sonha (biara) di Pusat Meditasi
Buddhis dari Ordo Interbeing, di kompleks Plum Village, di lembah Dordogne,
barat daya Perancis. Plum Village didirikan tahun 1982 oleh Thich Nhat Nanh,
akrab disapa Thay (guru). Guru Zen terkemuka asal Vietnam, penyair dan penulis
lebih dari 100 buku. Ia juga dikenal sebagai tokoh perdamaian internasional
melalui jalan spiritual.
Pilihan
Sadar
Dua
kali setahun, selama dua tahun terakhir, Ted menyediakan waktu untuk tinggal di
Plum Village. Di situ ia berlatih hidup berkesadaran lewat meditasi ataupun
aktivitas harian, termasuk membantu
kerja para biksu dan sramanera.
Ketika
ditanya tujuannya, ia menjawab, “Penerimaan dan pemulihan.” Tahapan itu,
menurut Ted, harus dilalui sebelum memasuki batin yg jenjam untuk menjalani
ziarah diri.
Sambil
memetik plum dan membagikannya kepada kami, Ted mengenang, “Saya sempat kehilangan arah hidup.”
Ia
terus dihantui masa lalu, kekerasan fisik dan seksual di luar rumah saat
remaja, kekerasan fisik di rumah oleh ayahnya saat masih kecil. Ia tidak bisa
memaafkan semuanya, termasuk dirinya.
Seorang
teman mengajak Ted berlatih meditasi
berkesadaran yang dikembangkan Thay. “Rasanya seperti meletakkan beban,”
kenangnya. “Ketika Thay memimpin retret di Killarney dua tahun lalu, saya langsung
ikut.”
Latihan
demi latihan membuat Ted mampu melihat
keseluruhan gambaran dirinya dan memahami tak ada hal yang kosong makna dalam
hidup. Kalau bisa menemukan makna itu, pengalaman apapun sangat berarti bagi
kehidupan spiritualnya.
Terus
Berjalan
Plum
Village tak hanya menjadi persinggahan orang seperti Ted, tetapi jugs mereka
yang ingin memasuki keheningan batin sebagai bekal melanjutkan perjalanan. Dua
tahun lalu, Augusta (38), perempuan berkari bagus dari Dublin, Irlandia,
meninggalkan pekerjaannya untuk latihan meditasi jalan di Plum Village. Sejak
Desember 2012, ia memutuskan tinggal.
Awal
September lalu, ia mulai jalan dari Berdun, Aragon, menuju Puente La Reina di
Spanyol. “Saya jalan kaki delapan hari, 100 kilometer, lalu kembali kesini.”
Musim
semi tahun depan ia akan melakukan perjalanan 800 kilometer dari Saint-Jean-Pi-ed-de-Port
di Perancis menuju Santiago de Compostela, lazim di sebut Camino Santiago, di
Spanyol. Jalur ziarah pejalan kaki abad pertengahan itu merupakan jalur favorit
peziarah jaman ini, termasuk novelis Brasil, Paulo Coelho, yang
menyelesaikannya dalam 55 hari pada 1987, sebelum melahirkan The Pilgrimage.
Di
jalur itu, Augusta akan bergabung dengan para peziarah, yang berjalan sendiri
ataupun dalam kelompok dua-tiga orang. Ia akan menginap di penginapan sederhana
yang tersebar di sepanjang perjalanan.
Di
masa lalu seusai Perang Dunia II, orang-orang seperti itu menggunakan tanda
supaya mudah dikenali, seperti tulisan “Peziarah Perdamaian”. Saat ini, para
mejalan kaki menuju Camino Santiago ditengarai dengan cangkang kerang, concha de vieira, yang digantung di
bagian luar tas punggung.
Jalan
Kedamaian
Jalan
seperti itu tak ditentukan siapapun, kecuali diri sendiri. Lankah awal bagi
seseorang bisa jadi lankah terakhir bagi yang lain. Yang terpenting adalah
langkah pertama.
Luc
(34) merasa cukup berjalan 200 kilometer selama 2,5 minggu, dari Le Puy ke
Rocomadour, lalu berhenti di Plum Village untuk berlatih lagi. Anthony,
pengusaha asal Swiss, menjalani laku diam dan jalan di Plum Village dan di
jalur-jalur ziarah di Eropa.
Bagi
mereka, itulah jalan kedamaian, yang tak ada dalam definisi para peneliti
gerakan perdamaian seperti Nigel Young (1985) dan Matthias Finger (1992). Di
jalan itu tak ada teriakan dan jargon besar tentang perdamaian, tak ada
negosiasi, senyum palsu, dan basa-basi.
Dalam
keheningan di jalan, orang berjuang merobek topeng kepalsuan diri, menanggalkan
status sosial, menguapkan kebencian dan keserakahan. Mereka berjuang keras
menangkap cahaya welas asih dari kebaikan alam dan kebersahajaan untuk
dipancarkan kembali dalam keseharian melalui hidup berkesadaran, eling, dan
memegang teguh etika hidhup bersama, yang baru dengan semua tantangan itu ,
kecuali kehendak untuk melakukannya.
Mereka
juga tidak bicar tentang peziarahan. Ketika ditanya mengapa memilih jalan itu,
Anthony hanya bergumam, “hmmm,” sambil menaruh telapak tangan di dada.
Sementara Augusta berbisik, “Hanya ingin jadi orang biasa.”